surat kepercayaan gelanggang
A. SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Sudah
diketahuai umum bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan
peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia. Pada waktu itu
terjadi perubahan besar-besaran atau revolusi di berbagai bidang kehidupan,
terutama politik, sosial dan budaya. Berbagai kisal awal revolusi Indonesia
yang sudah ditulis banyak orang pantaslah dibaca generasi sekarang agar
diperoleh gambaran historis mengenai berbagai peristiwa di awal revolusi
termasuk perubahan yang terjadi di bidang sastra. Dalam buku Teeuw (1952), Ajip
Rosidi (1969), dan Jakob Sumardjo (1992) masih relevan dijadikan sumber rujukan
mengenai kehidupan sastra Indonesia tahun 1945-1960-an. Tentu saja di luar
buku-buku tersebut banyak tulisan (artikel) lepas di surat kabar dan majalah
yang pantas dijadikan bahan pengayaan. Akan tetapi, untuk kepentingan pelajaran
ini boleh kiranya buku-buku tersebut dipandang sebagai modal dasat pembaca.
Dengan kata lain, sebaiknya pembaca buku ini pun menyimak sendiri buku-buku
tersebut agar memperoleh pengetahuan yang komprehensif dan lebih luas.
Ketika
menulis Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia Baru pada tahun 1951,
Teeuw mengaku tidak memilki dokumentasi yang lengkap seingga timbul keraguan
untuk menyusun ikhtisar kesusastraan Indonesia setelah tahun 1942 (hingga taun
1951). Akibatnya Teeuw hanya bersumberkan sejumlah majalah yang penting sebagai
pengantar masalah kebudayaan dan medan perbincangan. Selama masa pendudukan
Jepang, sudah terjadi tanda-tanda perubahan seperti diperlihatkan Chairil
Anwar, Idrus, Usmar Ismail, achdiat K. Mihardja, tetapi tidak segera muncul ke
permukaan karena tertekan oleh kekuasaan Jepang. Ajip Rosidi dalam Ikhtisar
sejarah sastra Indonesia (1969:92) tidak berbicara tentang latar belakang
sosial dan politik masa awal revolusi, tatpi langsung menyajikan gambaran
mengenai maraknya pemikiran sastra berkat kepeloporan penyair Chairil Anwar,
sedangkan Jakob Sumardjo (1991:104) menggambarkan Proklamasi Kemerdekaan
sebagai kejadian yang teramat penting dalam sejarah bangsa Indonesia
berpengaruh sekali terhadap kegiatan kbydayaan, termasuk kesusastraan.
Maraknya
pemikiran kebudayaan dan kesusastraan itu tampak pada penerbitan
majalah-majalah dan kesusastraan itu tampak pada penerbitan majalah-majalah
yangyang segera bermunculan segera bermunculan setelah Proklamasi
Kemerdekaan, seperti Panca Raya ( 1945-1947), Pembangunan (1946-1947),
Pembaharuan (1946-1947), dan masih banyak lagi. Dari Kratz (1988:32-33)
diperoleh catatan majalah yan terbit pada tahun-tahun setelah Proklamasi
Kemerdekaan adalah Arena, Gelanggang, Media, Genta,, Panji Islam, Api dan
masih banyak lagi.
Hal
itu membuktikan betapa besar semangat kaum seniman dan budayawan untuk ikut
serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan kebudayaan yang tidak kalah
pentingnya dibandingkan dengan pembangunan poltik dan militer yang sangat
mendesak pada saat itu. Maraknya penerbitan majalah itu membuka kesempatan
munculnyabanyak karangan sastra yang berupa sajak, cerpen, drama, esai dan
terjemahan. Semuanya merupakan peristiwa kebudayaan yang tidak panta dicatat,
tetapi jug pantas diteliti dan dikaji lagi untuk kepentingan masa kin dan masa
depan, khususnya masalah kebudayaan.
Seperti
halnya kelompok Pujangga Baru yang telah berpolemik mengenai konsep kebudayaan
Indonesia baru, para seniman dan budayawan pada masa awal revolusi pun sempat
memikirkan konsep kebudayaan Indonesia sebaga landasan pemikiran. Konsep yang
kemudian terkenal dengan sebutan “Surat Kepercayaan Gelangganng”. Disebut
demikian karena konsep atau rumusan itu diumumkan dalam ruang kebudayaan
“Gelanggang” dalam majalah Siasat tanggal 22 Oktober 1950.
Surat
Kepercayaan Gelanggang itu merupakan pernyataan sikap seniman budayawan yang
tergabungdalam Gelanggang Seniman Merdeka dengan motor Chairil Anwar, Asrul
Sani, dan Rivai Apin. Kelompok ini kemudian disebut “Angkatan 45” oleh Rosihan
Anwar, tetapi tidak dengan sendirinya dsepakati oleh banyak orang. Dalam Surat
Kepercayaan Gelanggang tampak jelas kesadaran berbangsa atau nasionalismeyang
mengakomodaso keberagaman masyarakat, termasuk pikiran-pikirannya, sedangkan
perwujudannya dalam kesenian (kebudayaan) bertumpu pada interaksi masyarakat
dengan seniman.
Tujuan
perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka adalah mempertanggungjawabkan penjadian
bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan
pikiran dan roh, sera memasukkan cita-cita dan dasraitu ke dalam segala
kegiatan.
Pendapat
Maman S. Mahayana bahwa publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang itu dimaksudkan
sebagai reaksi terhadap publikasi Mukadmah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakat)
yang dicetukan 17 Agustus 1950. Kemungkinan itu dapat dipahami berdasarkan
perbedaan ideologi. Surat Kepercayaan Gelanggang berdasarkanberdasarkan pada
humanism universal, sedangkan Lekra secara tegas hendak melaksanakan realism
sosialis yang bersumber pada komunisme. Gejala tersebut merupakan awal
pergolakan budaya yang terjadi dalam masyarakat sastra Indonesia. Kesulitan
ekonomi yang meluas di segala bidang kehidupan menyebabkan krisis penerbitan
Balai Pustaka.
Selayang
pandang tampaklah gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang terjadi
dalam masyarakat sastra Indonesia karena berkembangnya dinamika politik
ditengah kehidupan sosial ekonomi yang masih serba pahit dan semrawut akibat
pendudukan Jepang dan berlanjut dengan perang mempertahankan kemerdekaan.
Namun
telah tercatat dalam sejarah bahwa pada masa yang penuh kesulitan pun
bermunculan sejumlah pengarang yang pantas dihargai ketokohan dan prestasinya.
Selain tokoh-tokoh yang sudah disebut tadi, pantaslah disebut nama-nama :
Achdiat Karta Miharja, Aoh K. Hadimadja, Dodong Djiwapardaja, Harijadi S.
Hartowardojo, Mochtar Lubis, M. Balfas, Mh. Rustandi Kartakusuma, Mohamad Ali,
Rusman Sutia Sumarga, Sitor Situmorang, dan Trisno Sumardjo.
Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi
sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah
kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata
karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis
kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh
wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan
untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan
lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang
dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala
usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran
nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan
nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami
berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak
selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari,
membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan
keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya
saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Komentar
Posting Komentar